10/28/2019

Belajar dari Uang


Sore itu, kebetulan sekali abah sedang tidak sibuk. Kurang lebih satu jam sebelum waktu maghrib tiba, ia bercerita denganku dan adik-adikku. Antusiasnya dalam bercerita menggugah semangat kami untuk terus mendengarkan dan bertanya banyak hal. Pengalamannya yang beragam cukup membuat kami takjub, meskipun ada bagian-bagian yang hampir setiap cerita, ia ulang-ulang. Namun, lantas hal itu tak membuat kami merasa bosan.
Bagi kami, memiliki kesempatan untuk ngobrol dengan abah adalah cukup sulit dikarenakan kesibukan dan abah adalah orang yang tidak banyak berbicara. Bercerita tentang pengalaman-pengalamannya di masa lalu tidak menafikan hikmah dari cerita tersebut. Banyak pelajaran yang dapat dipetik. Rasa syukur, kagum, sedih, dan bangga beradu menjadi satu. “Iya, abah memang pejuang”, kalimat itu terbesit di dalam hati kami. Abah bercerita tentang masa kecilnya, bahwa ditinggalkan oleh sosok ayah bukan satu-satunya hambatan untuk terus berjuang. Memiliki delapan bersaudara dengan jarak usia yang terpaut jauh adalah kenikmatan hidup tersendiri. Iya, abah adalah anak terakhir alias “bontot” di keluarganya.
Selain masa kecilnya, abah juga menceritakan pengalamannya saat berusia sekitar 40 hingga 50 tahunan yang berada di lingkungan politik. Iya, saat itu abah adalah salah satu pejabat perwakilan rakyat dan ketua dari salah satu partai. Ia juga sibuk di bidang pendidikan. Kesibukan-kesibukan ini yang pada akhirnya, memiliki prinsip bahwa waktu berkumpul adalah hal penting.
Cerita demi cerita ia sampaikan, tibalah di bagian yang membuat kami bangga. “Uang politik ya untuk politik. Abah nggak berani bawa ke rumah. Di rumah kan orang-orangnya lagi pada menuntut ilmu. Makanya, kalau lagi dapat pesangon di luar gaji, ya dikembalikan untuk kepentingan politik lagi”, jelas abah yang seketika membuat kami takjub. Di tengah hiruk-pikuknya pejabat yang korupsi dan memperkaya diri, abah memilih untuk neriman demi mengambil barokah.
Dari cerita tersebut, secara tersirat abah mengajarkan kepada kami, bahwa uang adalah keperluan, tapi tidak semata-mata kebahagiaan memerlukan uang.