Sore itu, kebetulan sekali
abah sedang tidak sibuk. Kurang lebih satu jam sebelum waktu maghrib tiba, ia
bercerita denganku dan adik-adikku. Antusiasnya dalam bercerita menggugah
semangat kami untuk terus mendengarkan dan bertanya banyak hal. Pengalamannya
yang beragam cukup membuat kami takjub, meskipun ada bagian-bagian yang hampir
setiap cerita, ia ulang-ulang. Namun, lantas hal itu tak membuat kami merasa
bosan.
Bagi kami, memiliki
kesempatan untuk ngobrol dengan abah adalah cukup sulit
dikarenakan kesibukan dan abah adalah orang yang tidak banyak berbicara.
Bercerita tentang pengalaman-pengalamannya di masa lalu tidak menafikan hikmah
dari cerita tersebut. Banyak pelajaran yang dapat dipetik. Rasa syukur, kagum,
sedih, dan bangga beradu menjadi satu. “Iya, abah memang pejuang”, kalimat itu
terbesit di dalam hati kami. Abah bercerita tentang masa kecilnya, bahwa
ditinggalkan oleh sosok ayah bukan satu-satunya hambatan untuk terus berjuang.
Memiliki delapan bersaudara dengan jarak usia yang terpaut jauh adalah
kenikmatan hidup tersendiri. Iya, abah adalah anak terakhir alias “bontot” di
keluarganya.
Selain masa kecilnya, abah
juga menceritakan pengalamannya saat berusia sekitar 40 hingga 50 tahunan yang
berada di lingkungan politik. Iya, saat itu abah adalah salah satu pejabat
perwakilan rakyat dan ketua dari salah satu partai. Ia juga sibuk di bidang
pendidikan. Kesibukan-kesibukan ini yang pada akhirnya, memiliki prinsip bahwa
waktu berkumpul adalah hal penting.
Cerita demi cerita ia
sampaikan, tibalah di bagian yang membuat kami bangga. “Uang politik ya untuk
politik. Abah nggak berani bawa ke rumah. Di rumah kan orang-orangnya lagi pada
menuntut ilmu. Makanya, kalau lagi dapat pesangon di luar gaji, ya dikembalikan
untuk kepentingan politik lagi”, jelas abah yang seketika membuat kami takjub.
Di tengah hiruk-pikuknya pejabat yang korupsi dan memperkaya diri, abah memilih
untuk neriman demi mengambil barokah.
Dari cerita tersebut,
secara tersirat abah mengajarkan kepada kami, bahwa uang adalah keperluan, tapi
tidak semata-mata kebahagiaan memerlukan uang.