roticoklat
by Hildadhul
4/28/2021
Tuhan, Mengapa Aku Tidak Sabar?
Tentang sabar. kata yang sering didengar oleh telinga kita. Kata yang disebut saat seorang manusia terlihat lemah dibalik sebuah permasalahan. Kata yang sering dipakai untuk basa-basi alih-alih menenangkan hati. Kata yang terlihat singkat, tetapi kebanyakan manusia tidak kuat.
Tentang sabar. Aku lebih suka menyebutnya dengan menunggu. Sebab lebih realistis. Tidak terkesan praktis, padahal nyatanya sungguh miris. Perlu mendatangi Tuhan dan banyak mengemis. Sabar, yaitu menunggu Tuhan menggunakan kuasa-Nya. Membuka segalanya dibalik rahasia-rahasianya.
Tapi, Tuhan.. Mengapa aku tidak sabar? Aku cenderung berdebar hingga dada sesak sebab lelah menunggu. Aku hanya merasa terburu-buru untuk tahu kejutan apa yang Engkau siapkan. Akupun selalu bertanya-tanya. Kapan kejutan itu datang? Apa keajaiban akan memihakku? Mengapa aku sunggu geram padahal harus terus menunggu.
Oh, Tuhan. Sungguh lemah sekali bukan hamba-Mu yang satu ini? Mengangkat kedua tangan untuk bermunajat saja bisa dihitung dengan jari, tapi menuntut banyak hal untuk segera dikabulkan. Mengutuk hari-hari dengan merasa tidak pernah bahagia, padahal rezeki datang berlimpah. Menyesali hal yang tidak perlu, tapi kesalahan fatal lupa tuk disesali.
Tuhan. Bolehkah sekali ini saja, aku mengharapkan jalan keluar yang lebih cepat. Rasa tidak sabarku yang tiada obat ini sunggu sesak. Tuhan, keluarkan aku dari segala belenggu dunia yang tidak sanggup lagi aku hancurkan. Tuhan, aku yang tidak sabar ini, memohon agar segera dikabulkan.
3/22/2021
A Random Talking
Hai..
Rasanya kayak hampir seabad aku tidak menyalurkan emosiku dalam tulisan. Kali ini aku cuma mau nyampah, ngomongin hal random karena cuma pengen meluapkan kejenuhan dengan kehidupan ini. Jujur aja, kata "jenuh" nggak akan terlontar, jika saja masalah tidak datang. Hidup ini memang tidak mungkin jika tidak ada masalah. Hanya saja, aku sedang di posisi paling mentok, seolah otak udah nggak sampai buat mikir apa-apa. Kayak hidup cuma tinggal nunggu apa yang akan dilakukan sama Yang Maha Kuasa. Manusia bener-bener tiada kuasa.
Kalian pernah nggak sih, menyayangi sesuatu atau seseorang, sekaligus membencinya. Perasaan ingin marah, tapi tak pandai meluapkan. Raga ingin menjauh, tapi jiwa masih saling bergantungan. Bingung? Sama. Emang bener-bener idup ngga bisa dipikir pakai otak manusia aja, stres ujung-ujungnya.
Seperempat abadku ini, aku diajarkan oleh alam untuk mengikhlaskan. Tahun lalu, aku dipaksa alam untuk mengikhlaskan kepergian seseorang yang tidak akan kembali lagi. Tuhan memanggilnya. Di tahun yang sama, alam kembali menghampiriku untuk mengatakan "Lagi-lagi kau harus bisa mengikhlaskan". Aku dipaksa mengikhlaskan kepergian seseorang, yang sudah tidak boleh lagi aku harapkan. Seseorang yang sudah lama aku jauhi karena aku sadar, happy ending bukan milik kita. Selama itu juga aku berusaha meredam hati sebaik mungkin, bahwa rasa ini tidak boleh dilanjutkan.
Di tahun ini, alam sudah menunggu di depanku, hanya saja aku menghindar. Masih banyak yang aku usahakan, agar tidak ada lagi kepergian di tahun ini. Aku hanya berharap, seseorang yang hendak pergi ini, kembali ke Jalan Tuhan yang benar. Aku berharap, seseorang yang hendak pergi ini, kembeli ke pelukan ibunya yang tidak sempurna itu. Ibu yang semapt dibencinya.
Ini alasan aku tidak pernah menulis lagi. Rasanya, tulisan tidak mampu menghibur dan membuat lega. Tapi aku sadar, setidaknya dengan tulisan, artinya aku masih memiliki harapan. Artinya, aku masih percaya dengan diriku sendiri, yang saat ini keadaannya tidak memungkinkan untuk memohon kepada bantak telinga, untuk mendengarkan.
Thanks.
12/06/2020
Dialog Sendiri
Kau dulu mimpiku
Aku mulai merangkai kata demi kata tentangmu
Semua yang kutulis adalah dirimu
Kata-kata itu berubah menjadi kalimat per kalimat
dan bait per bait
Seluruhnya adalah ceritamu
Aku mencoba menulis yang lain
Perlahan menutup mataku tiap bayangmu menghampiri
Yang benar saja, justru semakin jelas anganmu
Aku mencoba berpindah latar untuk menulis
Lagi-lagi kata demi kata itu menuju kerinduanku padamu
Aku menulis lagi di kertas lain
Dengan latar yang yang sunyi nun jauh
Senyummu mengejarku, menghampiriku
Aku tak lagi bisa mengelak
Aku tuangkan semuanya lagi
Bait-bait yang aku hindari
Bayang-bayang yang tutupi
Senyum-senyum yang aku tinggal pergi
Tapi hanya aku pembacanya
Kau tidak lagi ada di ruangan ini
Berada di dalam dimensi yang lain
Di dalam ruangan yang tak lagi sempit
Aku sendiri
7/09/2020
Pagi yang Menyapa
Tentang pagiku hari ini. ia menyapa dengan cuaca yang bagus, mentari yang terang,angin sepoi yang sejuk. Sayangnya, terlintas ia membawaku pada kenangan buruk. ia memulai dengan menyelimutiku dengan rasa bersalah yang tak kunjung sembuh.
Saat itu, si bungsu yang sedang jauh di negeri orang. Sangat jauh, hingga tak mampu melangkahkan kakinya kembali ke tanah asal. Tak mampu bersua dengan orang yang tersayang. Tak mampu melepas kepergian untuk terakhir kalinya, dan yang tak akan pernah kembali. Tentunya, saat itu yang tersisa hanya segenap kerinduan yang tak dapat diharapkan. Kerinduan yang tak akan pernah menemukan obatnya.
Di mana rasa sesal itu? Yang hingga sekarang justru membuat dada terasa sangat sesak ketika mengingatnya. Harusnya aku lebih awal mempertemukan si bungsu dengan Abah lewat via telepon, sebelum matanya benar-benar tertutup rapat. Rasa sesal itu selalu hadir dalam angan sekaligus dengan bayangan raut muka si bungsu yang kesedihannya sangat mendalam. Aku kembali diam, merenung, sesak kembali.
Aku tahu, itu bukan salahku. Ada Tangan Tuhan yang turut bercampur. Sebagai hamba yang hina, aku jelas hanya mampu menghibur diri, meski rasa sesal itu pun akan kembali dan kembali.
6/25/2020
Seperempat Abad Mendekat
Di usia menjelang 25 ini, aku benar-benar merasa hidup. Ada perasaan yang belum pernah hadir seperti sebelumnya. Ada rindu yang mencekam, berbeda dengan sebelumnya. Ada tekanan teramat, tak seperti sebelumnya. Dan ada dorongan semangat, tidak seperti sebelumnya.
Perasaan itu beragam, seperti penasaran, rasa bersalah, kesedihan, bahagia, terkejut, hingga patah. Kerinduan itu bagai tusukan yang amat sakit, kerinduan yang hanya dapat dipertemukan dengan doa, kerinduan untuk dunia yang berbeda. Tekanan itu bagai tembus hingga tulang belulang, tak kuasa menampiknya. Dan dorongan semangat, yang giat datang hingga menarik simpul senyuman.
Di tahun ini, banyak sekali yang harus aku ucapkan kepada diri sendiri, kepada Tuhan, kepada orang terdekat.
Maaf, aku harus terpaksa banyak mengeluh, akibat terkejut yang berlarut.
Tolong, Selalu ada di sisiku, percayai aku.
Dan Terimakasih, telah percaya dengan segala kekuatan ini.
Sekian.
4/27/2020
Na, Sebenarnya di sini Sudah Lama Gelap
Na, bumi sedang
sakit
Aku juga tidak
ingin menyalahkanmu
Para bedebah juga
banyak yang rumit
Giat memperkeruh
keadaan
Tertawa melihat
rakyat yang semakin sekarat
Diguncang panik
yang teramat
Na, sebenarnya di
sini sudah lama gelap
Hanya saja masih
banyak yang ramah
Gemar menyalakan
cahaya
Sembari terus berharap
baskara menyinarinya
Meski banyak juga
yang kerap menggelapkan kembali
Na, jauh sebelum
datangmu
Bumi sudah engap
Mengandung umat
yang terlanjur tak berakhlak
Diusik tangan tak
bertanggung jawab
Memberi makan
egonya
Na, Corona..
Na..
(SELAMAT HARI PUISI NASIONAL 2020, di masa pandemi ini. Semoga segera pulih)
3/03/2020
Ayah telah pergi, Ma!
Terik Sang Bagaskara mulai meredup saat itu
Ia tampak ingin memberikan kabar angkasa
Aku merasakan detak jantungnya berhenti
Sosok yang sedang lemah tidak berdaya
Bumi mulai gelap, ingin ikut serta berbela sungkawa
Setiap mata mulai tak sanggup membendung
Beberapa rintihan mulai terdengar
Genggaman belahan jiwanya tak mampu untuk dilepas
Ayah telah pergi, Ma
Apakah kita mampu hidup tanpanya?
Mata sembabnya terus mengucurkan air matanya
Memandangiku, berusaha memeluk hatiku
Ia mendekat, memeluk, sesenggukan
Berusaha menguatkan
Saat ini..
Aku hanya punya mama
Mama hanya punya aku
Ia tampak ingin memberikan kabar angkasa
Aku merasakan detak jantungnya berhenti
Sosok yang sedang lemah tidak berdaya
Bumi mulai gelap, ingin ikut serta berbela sungkawa
Setiap mata mulai tak sanggup membendung
Beberapa rintihan mulai terdengar
Genggaman belahan jiwanya tak mampu untuk dilepas
Ayah telah pergi, Ma
Apakah kita mampu hidup tanpanya?
Mata sembabnya terus mengucurkan air matanya
Memandangiku, berusaha memeluk hatiku
Ia mendekat, memeluk, sesenggukan
Berusaha menguatkan
Saat ini..
Aku hanya punya mama
Mama hanya punya aku
Langganan:
Postingan (Atom)