5/02/2019

Cuplikan Abah

Rasa-rasanya baru kemarin aku berlama-lama menunggunya untuk menjemputku pulang dari sekolah. Abah, panggilanku kepada ayah, waktu itu ia masih aktif di kantor legislatif suatu daerah. Ia menjemput dengan motornya.

Abah bukan sekadar ayah bagiku. Tentu juga bagi adik dan mbakku. Ia tidak dipenuhi rasa gengsi untuk membantu pekerjaan umi (panggilan untuk ibu). Abah yang tiap pagi menyiapkan sarapan, uang saku, dan mengantar sekolah. Posisi umi memang sebagai guru yang hampir tiap pagi juga harus bersiap-siap.

Abah memang tidak mengenal lelah. Rasanya gatal benar tangan dan kakinya jika tidak melakukan suatu pekerjaan. Hebatnya lagi, ia tidak pernah mau merepotkan. Meski itu harus berhutang dan harus dibayar.

Tahun begitu cepat mengikis waktu. Tentu abahpun tak sekuat dulu. Memikul pilu bahkan tanpa orang tahu. Garis-garis serta lekukan sudah menghiasi kulitnya. Ia mulai menua dan semakin menua.

Sakit-sakit mulai menjangkit. Seperti manusia pada umumnya.  Ia sabar sembari beritikad untuk keluar dari sakit-sakitnya. Berjalannya waktu pun membuat ia juga semakin tua. Kakinya melemah pun tangannya. Tapi nasihat-nasihatnya sam sekali tidak berubah. Cara ia bagaimana menghadapi hidup. Menanggapi bermacam-macam karakter orang.

Abah sudah banyak berjuang. Tapi anak-anaknya belum mampu menggantikan. Payah!

Bagi aku, adik, mbak, dan umi, abah adalah kekuatan bagi kami. Tidak mengaguminya adalah fana. Tidak memujinya adalah dusta.

Semoga Allah segera menyembuhkan Abah :)

Tidak ada komentar: