Rasanya agak unik. Mudah sekali mengenali perangai yang apik. Namun, terkadang lupa untuk berdamai dengan diri sendiri. Lupa pula melirik penampilan diri sendiri.
Manusia seringkali dihadapkan dengan masalah-masalah. Berbagai perihal pelik diperdebatkan dengan cuma-cuma, hanya untuk membela yang belum tentu setia. Dan lagi, mereka lupa mengenali siapa dirinya.
Cukup tau, dermawan terhadap diri sendiri memang jauh lebih sulit. Tidak jarang, beberapa dari mereka membenci kehidupannya yang rumit.
Beberapa manusia juga sibuk untuk menemukan jati dirinya. Gagal, dan membenci lagi untuk kesekian kalinya.
12/20/2019
11/19/2019
Dialog Manis Ayah
"Yah, aku masuk ke grub drumband. Aku dipilih jadi pemain pianika." Si putri kecil begitu bahagia dengan kabar diterimanya sebagai pemain "pianika", alat musik yang kebetulan ia gemari. Di rumah ia suka bermain dan belajar sendiri dengan alat musik bekas kakaknya dulu. Sayang, beberapa not sudah tidak berfungsi. "Yah, pianika punya kakak udah banyak yang nggak bisa. Kalau beli lagi bagaimana?", Kemudian ayahnya mengangguk, tanda mengiyakan.
Beberapa hari setelah hari istimewa si putri kecil, di bulan November. Saat itu ayahnya sedang disibukkan dengan pekerjaannya, hingga larut malam. Bisa jadi, si putri kecil tidak ingat lagi dengan apa yang ia idamkan. "Nak, tidurnya yang bener." Kemudian si putri kecil bangun dengan setengah kesadarannya, dan membenarkan posisi tidurnya. "Ini pianika baru, hadiah ulang tahun." Ucap ayah pada putrinya yang sempat terbangun karena melihat pianika barunya, kemudian memeluknya, lagi-lagi dengan setengah kesadarannya.
Beranjak dewasa, si putri kecil teringat betul dialog manis dengan ayahnya malam itu. Iya, ayahnya adalah sosok paling romantis tanpa mampu membungkusnya dengan sebuah frasa atau kata-kata. Dan ia sendiri sadar, bahwa ia adalah si kecil tidak tahu diri karena lupa untuk sekadar "berterima kasih".
Cerita mini yang diqiyaskan dari cerita masa kecil. Iya, "Selamat Ulang Tahun Abah. Terima kasih telah menjadi sosok romantis yang hangat." ❤️
Beberapa hari setelah hari istimewa si putri kecil, di bulan November. Saat itu ayahnya sedang disibukkan dengan pekerjaannya, hingga larut malam. Bisa jadi, si putri kecil tidak ingat lagi dengan apa yang ia idamkan. "Nak, tidurnya yang bener." Kemudian si putri kecil bangun dengan setengah kesadarannya, dan membenarkan posisi tidurnya. "Ini pianika baru, hadiah ulang tahun." Ucap ayah pada putrinya yang sempat terbangun karena melihat pianika barunya, kemudian memeluknya, lagi-lagi dengan setengah kesadarannya.
Beranjak dewasa, si putri kecil teringat betul dialog manis dengan ayahnya malam itu. Iya, ayahnya adalah sosok paling romantis tanpa mampu membungkusnya dengan sebuah frasa atau kata-kata. Dan ia sendiri sadar, bahwa ia adalah si kecil tidak tahu diri karena lupa untuk sekadar "berterima kasih".
Cerita mini yang diqiyaskan dari cerita masa kecil. Iya, "Selamat Ulang Tahun Abah. Terima kasih telah menjadi sosok romantis yang hangat." ❤️
11/10/2019
Rumit
Menjadi pribadi yang kuat, selalu terlahir dari ujian yang padat. Mana mungkin mampu tegar, tanpa melewati pagar kesabaran.
Hidup terkadang lucu. Ada orang-orang yang sibuk mengkhawatirkan, lantas yang dikhawatirkan enggan memperhatikan. Ada orang-orang yang kontinyu mendoakan, lantas yang didoakan malas tuk saling bertatapan. Ada orang-orang yang berjuang, lantas yang diperjuangkan menjauhkan diri dari peradaban.
Hidup serumit itu. Diperumit oleh manusia-manusia diluar nalar. Melulu berfikir tentang akal, lupa bahwa nurani pun turut menuntut haknya. Iya, merasa benar secara aqliyah belum tentu dibenarkan oleh lubuk hatinya.
Hidup terkadang lucu. Ada orang-orang yang sibuk mengkhawatirkan, lantas yang dikhawatirkan enggan memperhatikan. Ada orang-orang yang kontinyu mendoakan, lantas yang didoakan malas tuk saling bertatapan. Ada orang-orang yang berjuang, lantas yang diperjuangkan menjauhkan diri dari peradaban.
Hidup serumit itu. Diperumit oleh manusia-manusia diluar nalar. Melulu berfikir tentang akal, lupa bahwa nurani pun turut menuntut haknya. Iya, merasa benar secara aqliyah belum tentu dibenarkan oleh lubuk hatinya.
10/28/2019
Belajar dari Uang
Sore itu, kebetulan sekali
abah sedang tidak sibuk. Kurang lebih satu jam sebelum waktu maghrib tiba, ia
bercerita denganku dan adik-adikku. Antusiasnya dalam bercerita menggugah
semangat kami untuk terus mendengarkan dan bertanya banyak hal. Pengalamannya
yang beragam cukup membuat kami takjub, meskipun ada bagian-bagian yang hampir
setiap cerita, ia ulang-ulang. Namun, lantas hal itu tak membuat kami merasa
bosan.
Bagi kami, memiliki
kesempatan untuk ngobrol dengan abah adalah cukup sulit
dikarenakan kesibukan dan abah adalah orang yang tidak banyak berbicara.
Bercerita tentang pengalaman-pengalamannya di masa lalu tidak menafikan hikmah
dari cerita tersebut. Banyak pelajaran yang dapat dipetik. Rasa syukur, kagum,
sedih, dan bangga beradu menjadi satu. “Iya, abah memang pejuang”, kalimat itu
terbesit di dalam hati kami. Abah bercerita tentang masa kecilnya, bahwa
ditinggalkan oleh sosok ayah bukan satu-satunya hambatan untuk terus berjuang.
Memiliki delapan bersaudara dengan jarak usia yang terpaut jauh adalah
kenikmatan hidup tersendiri. Iya, abah adalah anak terakhir alias “bontot” di
keluarganya.
Selain masa kecilnya, abah
juga menceritakan pengalamannya saat berusia sekitar 40 hingga 50 tahunan yang
berada di lingkungan politik. Iya, saat itu abah adalah salah satu pejabat
perwakilan rakyat dan ketua dari salah satu partai. Ia juga sibuk di bidang
pendidikan. Kesibukan-kesibukan ini yang pada akhirnya, memiliki prinsip bahwa
waktu berkumpul adalah hal penting.
Cerita demi cerita ia
sampaikan, tibalah di bagian yang membuat kami bangga. “Uang politik ya untuk
politik. Abah nggak berani bawa ke rumah. Di rumah kan orang-orangnya lagi pada
menuntut ilmu. Makanya, kalau lagi dapat pesangon di luar gaji, ya dikembalikan
untuk kepentingan politik lagi”, jelas abah yang seketika membuat kami takjub.
Di tengah hiruk-pikuknya pejabat yang korupsi dan memperkaya diri, abah memilih
untuk neriman demi mengambil barokah.
Dari cerita tersebut,
secara tersirat abah mengajarkan kepada kami, bahwa uang adalah keperluan, tapi
tidak semata-mata kebahagiaan memerlukan uang.
9/23/2019
Random
Bercerita tentang masa lalu memang tidak ada habisnya. Semakin diingat, semakin dalam menyelam. Aku tahu, itu bukan hal baik. Apalagi, masa lalu yang cukup kelam. Aku tahu bahwa sebaiknya dipendam, dijadikan pelajaran. Sayangnya, aku tidak pandai membual, bahwa aku tidak benar-benar membuang.
Kisah pilu di masa lalu sangat beragam. Saat itu, usiaku masih diambang penuh harapan. Berbagai macam angan aku tanam, dan kekecewaan tumbuh dengan cara yang tak seragam.
Aku tidak tahu, kata apa yang tepat untuk mengungkapnya. Aku bodoh? Atau tidak sadar diri? Atau bahkan tidak tahu diri? Tapi yang jelas, menyalahkan diri sendiri bukan jalan terbaik. Bodohnya, aku melakukannya. Iya, dari banyaknya cara untuk mengambil pelajaran dari masa kelam, aku memilih sibuk untuk menyesal dan menyalahkan. Aku tahu, itu salah.
Aku tidak tahu persis, apakah Tuhan akan memaafkan? Siapa yang tidak tahu, bahwa Ia Maha Memaafkan. Masalahnya, apa pantas aku dimaafkan? Ah, aku begitu malu denganMu, Tuhan. Lupa kesalahan, seenaknya minta dimaafkan, dasar aku.
Tapi jika aku dimaafkan, Terima kasih, Tuhan. Engkau adalah satu-satunya alasan aku bertahan. Modal percaya bahwa Engkau satu-satunya yang tidak pernah berkhianat. Engkau satu-satunya harapan yang akurat. Lagi-lagi, terima kasih, Tuhan.
Kisah pilu di masa lalu sangat beragam. Saat itu, usiaku masih diambang penuh harapan. Berbagai macam angan aku tanam, dan kekecewaan tumbuh dengan cara yang tak seragam.
Aku tidak tahu, kata apa yang tepat untuk mengungkapnya. Aku bodoh? Atau tidak sadar diri? Atau bahkan tidak tahu diri? Tapi yang jelas, menyalahkan diri sendiri bukan jalan terbaik. Bodohnya, aku melakukannya. Iya, dari banyaknya cara untuk mengambil pelajaran dari masa kelam, aku memilih sibuk untuk menyesal dan menyalahkan. Aku tahu, itu salah.
Aku tidak tahu persis, apakah Tuhan akan memaafkan? Siapa yang tidak tahu, bahwa Ia Maha Memaafkan. Masalahnya, apa pantas aku dimaafkan? Ah, aku begitu malu denganMu, Tuhan. Lupa kesalahan, seenaknya minta dimaafkan, dasar aku.
Tapi jika aku dimaafkan, Terima kasih, Tuhan. Engkau adalah satu-satunya alasan aku bertahan. Modal percaya bahwa Engkau satu-satunya yang tidak pernah berkhianat. Engkau satu-satunya harapan yang akurat. Lagi-lagi, terima kasih, Tuhan.
7/12/2019
Terima kasih, Tuhan
Lupa bersyukur adalah rutinan. Manusia tidak tahu diri ini lupa akan asal agrapana. Lupa akan siapa pengukir dunia. Lupa akan siapa pemegang nyawa. Bahkan lupa akan mati yang akan datang.
Bersyukur selalu menjadi kata dasar mamah untuk menasihati. Ia berkata dari lubuk hati penuh kehati-hatian. Tapi aku justru tidak tahu diri. Kemudian marah-marah sendiri.
Oh Tuhan. Ternyata sudah lama aku lalai akan kehadiran-Mu. Lalai akan turun tangan-Mu atas segala takdirku. Lalai akan berucap syukur akan segala nikmat-Mu, yang tidak semua orang beruntung sepertiku. Yang aku lihat hanyalah yang tabu. Lalai bahwa aku diberikan banyak kebahagiaan dan justru buru-buru ambau.
Terima kasih, Tuhan.
5/02/2019
Cuplikan Abah
Rasa-rasanya baru kemarin aku berlama-lama menunggunya untuk menjemputku pulang dari sekolah. Abah, panggilanku kepada ayah, waktu itu ia masih aktif di kantor legislatif suatu daerah. Ia menjemput dengan motornya.
Abah bukan sekadar ayah bagiku. Tentu juga bagi adik dan mbakku. Ia tidak dipenuhi rasa gengsi untuk membantu pekerjaan umi (panggilan untuk ibu). Abah yang tiap pagi menyiapkan sarapan, uang saku, dan mengantar sekolah. Posisi umi memang sebagai guru yang hampir tiap pagi juga harus bersiap-siap.
Abah memang tidak mengenal lelah. Rasanya gatal benar tangan dan kakinya jika tidak melakukan suatu pekerjaan. Hebatnya lagi, ia tidak pernah mau merepotkan. Meski itu harus berhutang dan harus dibayar.
Tahun begitu cepat mengikis waktu. Tentu abahpun tak sekuat dulu. Memikul pilu bahkan tanpa orang tahu. Garis-garis serta lekukan sudah menghiasi kulitnya. Ia mulai menua dan semakin menua.
Sakit-sakit mulai menjangkit. Seperti manusia pada umumnya. Ia sabar sembari beritikad untuk keluar dari sakit-sakitnya. Berjalannya waktu pun membuat ia juga semakin tua. Kakinya melemah pun tangannya. Tapi nasihat-nasihatnya sam sekali tidak berubah. Cara ia bagaimana menghadapi hidup. Menanggapi bermacam-macam karakter orang.
Abah sudah banyak berjuang. Tapi anak-anaknya belum mampu menggantikan. Payah!
Bagi aku, adik, mbak, dan umi, abah adalah kekuatan bagi kami. Tidak mengaguminya adalah fana. Tidak memujinya adalah dusta.
Semoga Allah segera menyembuhkan Abah :)
Abah bukan sekadar ayah bagiku. Tentu juga bagi adik dan mbakku. Ia tidak dipenuhi rasa gengsi untuk membantu pekerjaan umi (panggilan untuk ibu). Abah yang tiap pagi menyiapkan sarapan, uang saku, dan mengantar sekolah. Posisi umi memang sebagai guru yang hampir tiap pagi juga harus bersiap-siap.
Abah memang tidak mengenal lelah. Rasanya gatal benar tangan dan kakinya jika tidak melakukan suatu pekerjaan. Hebatnya lagi, ia tidak pernah mau merepotkan. Meski itu harus berhutang dan harus dibayar.
Tahun begitu cepat mengikis waktu. Tentu abahpun tak sekuat dulu. Memikul pilu bahkan tanpa orang tahu. Garis-garis serta lekukan sudah menghiasi kulitnya. Ia mulai menua dan semakin menua.
Sakit-sakit mulai menjangkit. Seperti manusia pada umumnya. Ia sabar sembari beritikad untuk keluar dari sakit-sakitnya. Berjalannya waktu pun membuat ia juga semakin tua. Kakinya melemah pun tangannya. Tapi nasihat-nasihatnya sam sekali tidak berubah. Cara ia bagaimana menghadapi hidup. Menanggapi bermacam-macam karakter orang.
Abah sudah banyak berjuang. Tapi anak-anaknya belum mampu menggantikan. Payah!
Bagi aku, adik, mbak, dan umi, abah adalah kekuatan bagi kami. Tidak mengaguminya adalah fana. Tidak memujinya adalah dusta.
Semoga Allah segera menyembuhkan Abah :)
Langganan:
Postingan (Atom)