Rasa-rasanya baru kemarin aku berlama-lama menunggunya untuk menjemputku pulang dari sekolah. Abah, panggilanku kepada ayah, waktu itu ia masih aktif di kantor legislatif suatu daerah. Ia menjemput dengan motornya.
Abah bukan sekadar ayah bagiku. Tentu juga bagi adik dan mbakku. Ia tidak dipenuhi rasa gengsi untuk membantu pekerjaan umi (panggilan untuk ibu). Abah yang tiap pagi menyiapkan sarapan, uang saku, dan mengantar sekolah. Posisi umi memang sebagai guru yang hampir tiap pagi juga harus bersiap-siap.
Abah memang tidak mengenal lelah. Rasanya gatal benar tangan dan kakinya jika tidak melakukan suatu pekerjaan. Hebatnya lagi, ia tidak pernah mau merepotkan. Meski itu harus berhutang dan harus dibayar.
Tahun begitu cepat mengikis waktu. Tentu abahpun tak sekuat dulu. Memikul pilu bahkan tanpa orang tahu. Garis-garis serta lekukan sudah menghiasi kulitnya. Ia mulai menua dan semakin menua.
Sakit-sakit mulai menjangkit. Seperti manusia pada umumnya. Ia sabar sembari beritikad untuk keluar dari sakit-sakitnya. Berjalannya waktu pun membuat ia juga semakin tua. Kakinya melemah pun tangannya. Tapi nasihat-nasihatnya sam sekali tidak berubah. Cara ia bagaimana menghadapi hidup. Menanggapi bermacam-macam karakter orang.
Abah sudah banyak berjuang. Tapi anak-anaknya belum mampu menggantikan. Payah!
Bagi aku, adik, mbak, dan umi, abah adalah kekuatan bagi kami. Tidak mengaguminya adalah fana. Tidak memujinya adalah dusta.
Semoga Allah segera menyembuhkan Abah :)
5/02/2019
4/21/2019
Ruang Luka
Tentang luka, aku sendiri tidak menyanggupinya. Tidak sedikit yang hobi menilik masa lalu. Kemudian mereka mengulang luka. Konyol, itu kesalahan mereka sendiri.
Perihal luka ternyata aku tak jauh dari kekonyolan itu. Aku masih gemar melihat masa lalu. Kembali menghembus aroma lampau. Menelisik setiap sudut ruang luka itu.
Rupanya masa laluku tidak terlalu buruk. Benar, itu caraku memantapkan hatiku. Untuk kembali bersyukur.
Buktinya, luka tidak sembuh dengan luka itu sendiri. Mungkin dengan bersyukur. Menikmati udara kehidupan yang akan terus melaju. Sembari menyeruput secangkir kopi dan mengukir mimpi-mimpi. Sehingga mimpi tersebut mantap dalam angan. Kemudian aku tak sekadar memendam harapan.
Ruang luka memang perlu dikunjungi. Hanya sebatas area introspeksi. Tidak lebih, apalagi kembali sakit hati.
Sejatinya luka tidak akan menghilang. Ia adalah sebuah pelajaran. Untuk kehidupan di masa depan.
Perihal luka ternyata aku tak jauh dari kekonyolan itu. Aku masih gemar melihat masa lalu. Kembali menghembus aroma lampau. Menelisik setiap sudut ruang luka itu.
Rupanya masa laluku tidak terlalu buruk. Benar, itu caraku memantapkan hatiku. Untuk kembali bersyukur.
Buktinya, luka tidak sembuh dengan luka itu sendiri. Mungkin dengan bersyukur. Menikmati udara kehidupan yang akan terus melaju. Sembari menyeruput secangkir kopi dan mengukir mimpi-mimpi. Sehingga mimpi tersebut mantap dalam angan. Kemudian aku tak sekadar memendam harapan.
Ruang luka memang perlu dikunjungi. Hanya sebatas area introspeksi. Tidak lebih, apalagi kembali sakit hati.
Sejatinya luka tidak akan menghilang. Ia adalah sebuah pelajaran. Untuk kehidupan di masa depan.
3/24/2019
Asa Terpenggal
Hari ini aku terbangun
Fajar dari ufuk timur membuat tertegun
Sinar mentari mendadak menodongku
Mengingat mimpi semalam yang perih bagiku
Pria tinggi semampai
Bak ingin kuraih namun tak sampai
Ia terus berlari ibarat ingin merapuhkan diri
Ia tahu aku ingin membuntutinya berlari
Ia tinggi badan dan harapan
Ibarat dua samudera, kita dihadapkan
Seolah kita tak mampu menyeberangi lautan
Untuk saling berkorban
Ia berkata "Aku tidak bisa hidup tanpamu"
Aku membalas bahwa aku pun begitu
Dalamnya kalbu bak terisi dengan dirimu
Iya, kita terlalu terburu-buru saat itu
Sejenis api yang sudah membara
Hingga kita lupa siapa di balik semua
Seperti lara yang lepas terbuka
Berdarah, tapi kita bisa apa
Lautan benar-benar menghanyutkan
Kita terayun begitu pelan
Hingga asa menggebu di depan
Dan kita tak piawai mengendalikan
Dan kita belajar, untuk saling mengikhlaskan
Dhul_
Fajar dari ufuk timur membuat tertegun
Sinar mentari mendadak menodongku
Mengingat mimpi semalam yang perih bagiku
Pria tinggi semampai
Bak ingin kuraih namun tak sampai
Ia terus berlari ibarat ingin merapuhkan diri
Ia tahu aku ingin membuntutinya berlari
Ia tinggi badan dan harapan
Ibarat dua samudera, kita dihadapkan
Seolah kita tak mampu menyeberangi lautan
Untuk saling berkorban
Ia berkata "Aku tidak bisa hidup tanpamu"
Aku membalas bahwa aku pun begitu
Dalamnya kalbu bak terisi dengan dirimu
Iya, kita terlalu terburu-buru saat itu
Sejenis api yang sudah membara
Hingga kita lupa siapa di balik semua
Seperti lara yang lepas terbuka
Berdarah, tapi kita bisa apa
Lautan benar-benar menghanyutkan
Kita terayun begitu pelan
Hingga asa menggebu di depan
Dan kita tak piawai mengendalikan
Dan kita belajar, untuk saling mengikhlaskan
Dhul_
Rotasi
Jangan jangan kita lupa, ada hitam sesudah putih.
Ada lemah sesudah kuat. Ada sakit sesudah sehat.
Ada lupa sesudah ingat. Dan yang paling seram, ada mati sesudah hidup.
Aku tersadar bahwa hidup bukan perihal benar atau salah,
tetapi tentang pilihan. Terkadang berangan-angan yang bukan-bukan
akan menjadi bekas pahitnya harapan. Memilih pun perihal pasrah.
Kita ingat ada Tuhan yang Maha Kuasa. Pun kita jelas tidak bisa
semena-mena.
Belum banyak usiaku untuk disebut memiliki segudang pengalaman.
Tapi dari berjabat tangan dengan orang-orang, aku banyak belajar tentang sebuah pengorbanan. Ternyata pilihan pun bukan sekadar cuitan. Hidup bukan sekadar di pelupuk angan. Hidup bak rotasi yang terus berputar.
3/06/2019
Perihal Hidup
Hidup akan selalu berjalan
Pun nanti ada kematian
Sayangnya banyak yang kelupaan
Bahwa manusia sudah di penghujung penantian
Hidup tak sekadar mengomentari
Berbeda sedikit kita investigasi
Ingat, itu tugas polisi
Baik-baik perbaiki diri
Hidup itu rumit
Pergi saja harus pamit
Nyari kerjaan kadang sulit
Bisa saja nanti sakit
Hidup itu perihal pengorbanan
Bukan duduk yang nyaman
Juga perihal perjuangan
Agar hidup tidak pergi menjadi angan
3/04/2019
Payung dan Tawa
Sore itu memang sore biasa
Tidak ada yang istimewa
Hujan mengalir begitu derasnya
Petir pun tak mau mengalah
Sore itu hujan deras
Awan menggelap bak sudah petang
Seseorang sedang bahagia dengan cucunya
Hujan dan petirpun di terjang
Tapi ternyata sore itu mendadak begitu haru
Laki-laki itu membuka payungnya
Berlari-lari menyeberang dan menjemput cucunya
Jelas, itu cucu pertamanya
Ia seakan tak ingat usianya
Ia pun tak ingat bahwa ia sudah melemah
Tapi tawanya kian menjadi obat baginya
Pertanda ia sungguh bahagia
Aku ingat betul bagaimana tawanya
Apalah aku yang hanya melihat dari bilik kaca
Tapi sudah turut bahagia
Menyaksikan senyum merekah dari bibirnya
Dhul_
Tentang abah, yang selalu rindu cucu-cucunya.
Tidak ada yang istimewa
Hujan mengalir begitu derasnya
Petir pun tak mau mengalah
Sore itu hujan deras
Awan menggelap bak sudah petang
Seseorang sedang bahagia dengan cucunya
Hujan dan petirpun di terjang
Tapi ternyata sore itu mendadak begitu haru
Laki-laki itu membuka payungnya
Berlari-lari menyeberang dan menjemput cucunya
Jelas, itu cucu pertamanya
Ia seakan tak ingat usianya
Ia pun tak ingat bahwa ia sudah melemah
Tapi tawanya kian menjadi obat baginya
Pertanda ia sungguh bahagia
Aku ingat betul bagaimana tawanya
Apalah aku yang hanya melihat dari bilik kaca
Tapi sudah turut bahagia
Menyaksikan senyum merekah dari bibirnya
Dhul_
Tentang abah, yang selalu rindu cucu-cucunya.
1/30/2019
Tentang Doa
Sejujurnya ini bukan puisi cinta.
Bukan prosa nan indah.
Tapi secuplik kisah kekuatan doa.
Yang aku sendiri susah menjelaskannya.
24 Januari kemarin telah aku lewati.
Dua hari sebelumnya aku merasa ngeri.
Bangun tidur, tidur lagi.
Selalu mengingat hari yang dinanti.
Tepat hari itu aku memberanikan diri.
Menarik nafas untuk bersiap diri.
Berhadapan dengan 2 penguji.
Fikiranku serasa tidak sadarkan diri.
Tentang doa, aku tahu tidak ada duanya.
Terlebih doa orang tua.
Serius, aku sudah membuktikannya.
Doa kita sekalipun, tidak mengalahkannya.
Dua orang yang bukan lagi berusia muda.
Aku menyebutnya orang tua.
Salah satunya menenangkan.
"Abahmu wes melek ket bengi, tenang".
Pagi menjelang siang waktu itu.
Semua dimulai dengan ketegangan, menurutku.
Tapi siapa sangka bahwa takdir memihakku.
Ah, Bukan. Itu kuatnya doa orang tuaku.
Pesan: Tidak ada yang perlu diragukan lagi dari sebuah doa. Minta semuanya kepada Tuhanmu. Ia tidak pernah salah memilih yang terbaik. Begitu kira-kira :))
Oh iya. Ini secuplik pengalaman waktu aku sidang skripsi kemarin. Usaha udah, deg-degan udah, doa sendiri udah, tawakkal juga harus, tapi tidak ada lagi yang paling ampuh selain doa orang tua.
Dhul_
Bukan prosa nan indah.
Tapi secuplik kisah kekuatan doa.
Yang aku sendiri susah menjelaskannya.
24 Januari kemarin telah aku lewati.
Dua hari sebelumnya aku merasa ngeri.
Bangun tidur, tidur lagi.
Selalu mengingat hari yang dinanti.
Tepat hari itu aku memberanikan diri.
Menarik nafas untuk bersiap diri.
Berhadapan dengan 2 penguji.
Fikiranku serasa tidak sadarkan diri.
Tentang doa, aku tahu tidak ada duanya.
Terlebih doa orang tua.
Serius, aku sudah membuktikannya.
Doa kita sekalipun, tidak mengalahkannya.
Dua orang yang bukan lagi berusia muda.
Aku menyebutnya orang tua.
Salah satunya menenangkan.
"Abahmu wes melek ket bengi, tenang".
Pagi menjelang siang waktu itu.
Semua dimulai dengan ketegangan, menurutku.
Tapi siapa sangka bahwa takdir memihakku.
Ah, Bukan. Itu kuatnya doa orang tuaku.
Pesan: Tidak ada yang perlu diragukan lagi dari sebuah doa. Minta semuanya kepada Tuhanmu. Ia tidak pernah salah memilih yang terbaik. Begitu kira-kira :))
Oh iya. Ini secuplik pengalaman waktu aku sidang skripsi kemarin. Usaha udah, deg-degan udah, doa sendiri udah, tawakkal juga harus, tapi tidak ada lagi yang paling ampuh selain doa orang tua.
![]() |
Finally S.S.I. Perjalanan masih panjang :)) |
Dhul_
Langganan:
Postingan (Atom)